Keterlambatan dan
kelajuan kehidupan ku sebut dengan sebuah ilusi yang tidak bertegakkan.
Melarikan diri ketempat sepi atau biasa ku sebut dengan kesepian, diam dan tertawa
sendiri bukan aku gila melainkan aku sepi. Sepi dalam berbagai hal dimana aku
sepi dengan cahaya terang dan nilai yang tinggi. Cahaya yang aku miliki di
malam hari hanyalah menenteng lampu
gopong biasa ku sebut itu, hanya dengan setitik api dalam barisan sumbu. Inilah kisah hidupku di mulai dari kegelapan.
Di sebuah desa
pendalaman yang tidak di kenal namanya tiada politik dan konflik tapi kami
bersama dalam membangun. Nampak seorang dari kejauhan sedang mengayung sepedanya dengan laju dalam setiap
tikungan pedesaan dia adalah tutor kecelakaan terberat yang pernah ada, biasa
ku panggil dia Uldi.
Dibawah terik matahari
yang panas Uldi datang menyambari ku
“Hey Tom, kita mancing
yuk? Bosan aku dirumah. Kalau bisa sekalian kita berenang di parit.” Ajak Uldi
kepada aku.
“Ah, tidak lah Ul, aku
malas.” Jawab ku dengan nada yang kurang mengenakan.
“Kalau begitu, ya
sudahlah.” Ujar Uldi dengan suara pasrah.
Itulah temanku Uldi,
seorang patriot perjuangan kehidupan yang selalu ku anggap. Tanpa dia aku hanya
bagaikan butiran debu, seorang persahabatan yang tiada pernah kenal lelah. Air
mata menetes dalam persahabatan, bukan alay dan lebay tapi itu adalah semangat
persahabatan kami.
Perkenalkan nama ku
adalah Tommy,aku bersekolah di SDN 001 Toapaya kelas 3. Sebuah sekolah kecil
yang biasa tapi di penuhi bakat yang luarbiasa. Tiada kata yang biasa tertulis
di sekolahku, hanya sebuah ukiran dalam kegelapan dalam hatiku. Karena di sana
adalah tempat masa suram di mulai.
***
“ Hujannya deras
bangat, bagaimana ke sekolah kalau begini?. Padahal hari ini Ujian kenaikan
kelas.” Tanya aku dengan nada khawatir.
“ Mau gimana lagi,
kalau hujan deras gini pasti di jembatan kayu banjir dan gak bisa lewat.” Jawab
kakek dengan melihat keluar jendela.
“ Kalau gitu tidak
apa-apa deh kek.” Ujar ku dengan nada yang pasrah.
Saat itupun aku tidak
mengikuti ujian kenaikan kelas, sungguh menyedihkan akibat dari hujan dan
kebanjiran di jembatan kayu membuat ku tidak bisa mengikuti ujian. Hal-hal yang
akan terjadi selanjutnya, tidak bisa ku tebak lagi.
***
Hari pengambilan
kenaikan kelas 4 pun di ambil, dimana bintang kelas akan di umumin terlebihi
dahulu. Aku melihat dari kejauhan sangat ramai di dalam kelas dan aku mendekati
dari kejauhan. Sangat sempit dan panas karena di liputi oleh siswa-siswa yang
ada disana untuk melihat pengumuman juara kelas, dimana aku selalu berharap
untuk juara kelas bukan karena aku ingin pamer tapi itu impian. Saat aku berada
dipintu, tiba-tiba seorang wanita berteriak padaku.
“Tolonglah ya, yang
tidak berkepentingan dan tidak juara jangan berharap juara di sini, ini hanya
untuk orang-orang yang pintar dan khusus untuk para juara!”
“ Iya, maaf.” Sebut aku
dengan suara yang pelan.
Nasib sial pun menimpa
aku, bukan aku tidak mendapat juara kelas. Tapi kali ini aku harus pulang
dengan penyesalan. Di saat pengambilan rapot kenaikan kelas aku di dampingi
kakek ku dan di sana aku dipertemukan dengan walikelas.
“ Sebelumnya mohon maaf
ya kek, cucu anda saat ujian mendapat nilai yang sangat rendah. Hasil cucu anda
tidak cukup untuk kenaikan kelas, jadi cucu anda di nyatakan tinggal kelas.”
Sebut walikelas ku dengan menundukan kepala seolah permintaan maaf.
“Apakah tidak bisa di
bantu lagi bu?, saya mohon bu.” Pinta kakek.
“Maaf kek, sungguh
tidak bisa. Saya sudah melakukan yang terbaik, saya hanya bisa meminta maaf dan
saya berharap agar Tommy belajar lebih baik lagi dan di bimbing.” Jawab
walikelas ku dengan suara pasrah.
“ Kalau begitu, tidak
apa-apa lah bu. Terima kasih ya bu.” Sebut kakek dengan rasa yang penuh dengan
penyesalan.
Saat itulah aku
meneteskan airmata pertama di sana, ngalir dan terus mengalir bagaikan air
hujan yang turun sejentik-jentik dan akhirnya deras, seperti itulah yang aku
rasakan. Di saat aku merasa terpuruk dan terjatuh inilah sahabat aku Uldi
datang menghampiri dan menanyakan segala hal yang sudah terjadi. Aku menjelaskannya
dan menceritakannya.
“ Sudah biarkan saja
lah Tom, sehelai kertas dan nilai tak bisa nentukan masa depan kamu.” Ujar Uldi
pada diriku
“ Bukan begitu Ul, aku
harus bangkit dari kegagalan ini!” Sebut ku dengan tersedu-sedu.
“Kalau gitu jadikan kegagalan
ini motivasi kamu dalam kehidupan yang akan datang, kamu harus berusaha!” Sebut
Uldi dengan semangat.
***
Semester baru pun tiba,
pandangan sinis dan candaan dari orang lain selalu menghampiri diriku, tiada
kata yang bisa terucapkan dariku. Di bawah pohon ku sendiri di temani dengan
sehelai kertas kosong yang bisa mengungkapkan isi hatiku, tiada kata lain yang
bisa ku tulis dalam kertas itu tapi hanya sebuah kegagalan telak dalam hidup.
Saat pelajaran pertama
di mulai, semua siswa baru memasuki kelas, begitu juga aku tidak bisa masuk ke
kelas tingkat lebih tinggi, tapi hanya di jenjang yang tetap. Ketika walikelas
memasuki kelas dan memberikan berbagai macam pengarahan.
“Kita masuk ke tahun
pelajaran baru, dan saya berharap kalian semua harus belajar dengan giat. Tiada
kenal lelah dalam belajar, ingat itu dan tidak lupa juga berdoa ketika sebelum
belajar.” Sebut walikelas ku dengan nada yang tegas.
“Iya bu.” Jawab kami
semua dengan raut wajah senyum.
Ketika diimalam yang
gelap gulita tiada listrik dan tiada apapun hanya lampu gopong yang ada di
samping tangan kanan ku, biasa ku taruk di meja untuk belajar. Kurangnya
perhatian dari pemerintah di daerah sana, kami seperti desa terpelosok yang
tiada arti. Setiap malam ku belajar dengan giat dan tiada henti, sebaris sumbu
demi sumbu habis dalam semalam saja. Inilah kegiatan ku dalam belajar, akal
motivasi dari ocehan dan candaan orang lain.
0 comments:
Post a Comment