Monday 25 September 2017

Keterlambatan dan kelajuan kehidupan ku sebut dengan sebuah ilusi yang tidak bertegakkan. Melarikan diri ketempat sepi atau biasa ku sebut dengan kesepian, diam dan tertawa sendiri bukan aku gila melainkan aku sepi. Sepi dalam berbagai hal dimana aku sepi dengan cahaya terang dan nilai yang tinggi. Cahaya yang aku miliki di malam hari hanyalah menenteng  lampu gopong biasa ku sebut itu, hanya dengan setitik api dalam barisan sumbu.  Inilah kisah hidupku di mulai dari kegelapan.
Di sebuah desa pendalaman yang tidak di kenal namanya tiada politik dan konflik tapi kami bersama dalam membangun. Nampak seorang dari kejauhan sedang  mengayung sepedanya dengan laju dalam setiap tikungan pedesaan dia adalah tutor kecelakaan terberat yang pernah ada, biasa ku panggil dia Uldi.
Dibawah terik matahari yang panas Uldi datang menyambari ku
“Hey Tom, kita mancing yuk? Bosan aku dirumah. Kalau bisa sekalian kita berenang di parit.” Ajak Uldi kepada aku.
“Ah, tidak lah Ul, aku malas.” Jawab ku dengan nada yang kurang mengenakan.
“Kalau begitu, ya sudahlah.” Ujar Uldi dengan suara pasrah.
Itulah temanku Uldi, seorang patriot perjuangan kehidupan yang selalu ku anggap. Tanpa dia aku hanya bagaikan butiran debu, seorang persahabatan yang tiada pernah kenal lelah. Air mata menetes dalam persahabatan, bukan alay dan lebay tapi itu adalah semangat persahabatan kami.
Perkenalkan nama ku adalah Tommy,aku bersekolah di SDN 001 Toapaya kelas 3. Sebuah sekolah kecil yang biasa tapi di penuhi bakat yang luarbiasa. Tiada kata yang biasa tertulis di sekolahku, hanya sebuah ukiran dalam kegelapan dalam hatiku. Karena di sana adalah tempat masa suram di mulai.
***
“ Hujannya deras bangat, bagaimana ke sekolah kalau begini?. Padahal hari ini Ujian kenaikan kelas.” Tanya aku dengan nada khawatir.
“ Mau gimana lagi, kalau hujan deras gini pasti di jembatan kayu banjir dan gak bisa lewat.” Jawab kakek dengan melihat keluar jendela.
“ Kalau gitu tidak apa-apa deh kek.” Ujar ku dengan nada yang pasrah.
Saat itupun aku tidak mengikuti ujian kenaikan kelas, sungguh menyedihkan akibat dari hujan dan kebanjiran di jembatan kayu membuat ku tidak bisa mengikuti ujian. Hal-hal yang akan terjadi selanjutnya, tidak bisa ku tebak lagi.
***
Hari pengambilan kenaikan kelas 4 pun di ambil, dimana bintang kelas akan di umumin terlebihi dahulu. Aku melihat dari kejauhan sangat ramai di dalam kelas dan aku mendekati dari kejauhan. Sangat sempit dan panas karena di liputi oleh siswa-siswa yang ada disana untuk melihat pengumuman juara kelas, dimana aku selalu berharap untuk juara kelas bukan karena aku ingin pamer tapi itu impian. Saat aku berada dipintu, tiba-tiba seorang wanita berteriak padaku.
“Tolonglah ya, yang tidak berkepentingan dan tidak juara jangan berharap juara di sini, ini hanya untuk orang-orang yang pintar dan khusus untuk para juara!”
“ Iya, maaf.” Sebut aku dengan suara yang pelan.
Nasib sial pun menimpa aku, bukan aku tidak mendapat juara kelas. Tapi kali ini aku harus pulang dengan penyesalan. Di saat pengambilan rapot kenaikan kelas aku di dampingi kakek ku dan di sana aku dipertemukan dengan walikelas.
“ Sebelumnya mohon maaf ya kek, cucu anda saat ujian mendapat nilai yang sangat rendah. Hasil cucu anda tidak cukup untuk kenaikan kelas, jadi cucu anda di nyatakan tinggal kelas.” Sebut walikelas ku dengan menundukan kepala seolah permintaan maaf.
“Apakah tidak bisa di bantu lagi bu?, saya mohon bu.” Pinta kakek.
“Maaf kek, sungguh tidak bisa. Saya sudah melakukan yang terbaik, saya hanya bisa meminta maaf dan saya berharap agar Tommy belajar lebih baik lagi dan di bimbing.” Jawab walikelas ku dengan suara pasrah.
“ Kalau begitu, tidak apa-apa lah bu. Terima kasih ya bu.” Sebut kakek dengan rasa yang penuh dengan penyesalan.
Saat itulah aku meneteskan airmata pertama di sana, ngalir dan terus mengalir bagaikan air hujan yang turun sejentik-jentik dan akhirnya deras, seperti itulah yang aku rasakan. Di saat aku merasa terpuruk dan terjatuh inilah sahabat aku Uldi datang menghampiri dan menanyakan segala hal yang sudah terjadi. Aku menjelaskannya dan menceritakannya.
“ Sudah biarkan saja lah Tom, sehelai kertas dan nilai tak bisa nentukan masa depan kamu.” Ujar Uldi pada diriku
“ Bukan begitu Ul, aku harus bangkit dari kegagalan ini!” Sebut ku dengan tersedu-sedu.
“Kalau gitu jadikan kegagalan ini motivasi kamu dalam kehidupan yang akan datang, kamu harus berusaha!” Sebut Uldi dengan semangat.
***
Semester baru pun tiba, pandangan sinis dan candaan dari orang lain selalu menghampiri diriku, tiada kata yang bisa terucapkan dariku. Di bawah pohon ku sendiri di temani dengan sehelai kertas kosong yang bisa mengungkapkan isi hatiku, tiada kata lain yang bisa ku tulis dalam kertas itu tapi hanya sebuah kegagalan telak dalam hidup.
Saat pelajaran pertama di mulai, semua siswa baru memasuki kelas, begitu juga aku tidak bisa masuk ke kelas tingkat lebih tinggi, tapi hanya di jenjang yang tetap. Ketika walikelas memasuki kelas dan memberikan berbagai macam pengarahan.
“Kita masuk ke tahun pelajaran baru, dan saya berharap kalian semua harus belajar dengan giat. Tiada kenal lelah dalam belajar, ingat itu dan tidak lupa juga berdoa ketika sebelum belajar.” Sebut walikelas ku dengan nada yang tegas.
“Iya bu.” Jawab kami semua dengan raut wajah senyum.
Ketika diimalam yang gelap gulita tiada listrik dan tiada apapun hanya lampu gopong yang ada di samping tangan kanan ku, biasa ku taruk di meja untuk belajar. Kurangnya perhatian dari pemerintah di daerah sana, kami seperti desa terpelosok yang tiada arti. Setiap malam ku belajar dengan giat dan tiada henti, sebaris sumbu demi sumbu habis dalam semalam saja. Inilah kegiatan ku dalam belajar, akal motivasi dari ocehan dan candaan orang lain.


Join This Site

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!